Halaman

Jumat, 11 Januari 2013

Demokrasi dalam sosialisme modern


DEMOKRASI
DALAM SOSIALISME MODERN
Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah : Ilmu Negara





logo-uin-suka-baru-warna
















Disusun Oleh:

UNI MALIHAH
12340132





ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
 2012







BAB I
PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang Masalah
Dunia telah menapaki sebuah era baru: era globalisasi. Pasca-keruntuhan Uni Sovyet di awal dekade 1990-an, Komunisme seakan menjadi sebuah dagangan yang tidak lagi laku. Era dianggap telah berubah, seakan-akan tidak ada lagi alternatif baru (Thatcher, 1992), dan ini disangka sebagai akhir dari sejarah dengan kemenangan demokrasi-liberal (Fukuyama, 1989). Dunia dikuasai oleh sebuah kekuatan unipolar yang hegemonik, dengan ancaman bahwa jika tidak taat pada kekuatan tersebut, mereka akan kehilangan harapan untuk hidup.
Benarkah demikian, bahwa tidak ada lagi jalan alternatif di dunia ini selain jalan neoliberalisme? Anthony Giddens menawarkan hal sebaliknya. Bagi Giddens, masih ada sepercik harapan dan jalan yang ia sebut sebagai “jalan ketiga”. Giddens, yang mendasarkan pandangannya pada teori strukturasi, berpandangan pada liberalisme tidak selamanya menawarkan kebaikan; masih ada celah yang harus dibenahi dalam struktur sosial.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana teori Strukturasi Giddens mengenai jalan ketiga ?
2.      Bagaimana pandangan Giddens tentang modernisasi sebagai perspektif yang berbeda?
3.      Bagaimanakah hubungan Globalisasi dengan Jalan Ketiga ?
4.      Bagaimana rumusan agenda perubahan Giddens dalam modernisasi ?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui teori Strukturasi Giddens mengenai jalan ketiga ;
2.      Untuk mengetahui pandangan Giddens tentang modernisasi sebagai perspektif yang berbeda ;
3.      Untuk mengetahui hubungan Globalisasi dengan Jalan Ketiga ;
4.      Untuk mengetahui rumusan agenda perubahan Giddens dalam modernisasi.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Teori Strukturasi
Teori strukturisasi ingin menyelesaikan dualisme "struktur" dan "agensi" selama-lamanya. Untuk memudahkan menerangkan teori ini, Giddens mengambil contoh bahasa. Dalam berbahasa , seorang penutur harus tahu dengan tepat tata-bahasa, bagaimana urutan subyek, predikat, obyek, bagaimana menggandengkan kata-kata, dan sebagainya. Inilah "struktur." Orang memang tidak mungkin keluar dari struktur ini, atau kalau dia nekat, tidak seorang pun dapat memahami apa yang di katakan. Akan tetapi "struktur" bukan hanya suatu hal yang "menghambat." Ia juga "memampukan," sebab setelah ia menguasai tata-bahasa ia dapat berkomunikasi lancar dengan lawan bicaranya.
Demikian pula "masyarakat." Ketertiban dan keteraturan pada masyarakat bukan hasil dari sebuah kekuasaan yang melindas setiap pengacau (Hobbes) juga bukan karena tiap-tiap orang menjalankan peran dan fungsinya, lalu diikat oleh nilai-nilai (Parson). Giddens menekan peranan individu yang menjalani hidup sehari-hari, melewati aneka macam rutin. Mereka inilah yang-katakan-berjasa dalam memproduksi dan memproduksi masyarakat. Dalam rangka inilah Giddens memperkenalkan istilah yang berakar dalam Heidegger: ontological security". Juga masuk dalam pembahasan ini unsur time-space distanciation.
Atas dasar teori strukturisasi ini Giddens dapat melanjutkan penjelajahannya ke wilayah lain, ke sosiologi substantif. Di sini Giddens mulai dengan mengadakan observasi atas keadaan dunia modern. Seperti telah disinggung di atas, pemakaian kekerasan (yang menjadi "perang") adalah salah satu ciri modernitas. Di samping itu masih ada tiga fenomena lain: masalah jurang kaya-miskin, masalah penghancuran lingkungan, dan masalah penindasan oleh negara. Orang tidak dapat memungkiri fakta bahwa ada sekelompok kecil orang yang memiliki kekayaan melimpah, dan sebagian besar lain yang bahkan tidak dapat menikmati kebutuhan dasar. Penghancuran lingkungan barangkali dapat dikaitkan dengan kemiskinan, tetapi hal ini oleh Giddens dilihat sebagai gejala terpisah. Hutan, gunung, sungai, danau, laut, bahkan udara dirusak oleh manusia. Sementara itu negara dengan intensif mengadakan "surveillance" (pengawasan) atas warganya dengan memakai segala macam formulir dan kartu. Di Indonesia hal ini paling jelas tampak dalam bentuk Kartu Tanda Penduduk (KTP).

B.     Modernisasi sebagai Perspektif yang Berbeda
Hal menarik lain yang patut kita analisis dari pandangan Anthony Giddens adalah pandangannya mengenai modernisasi. Ia beranggapan, modernisasi dapat dimaknai dalam dua perspektif: sebagai mesin perusak dari nilai dan tradisi lokal, namun juga bisa menjadi sebuah peluang untuk menuju tatanan masyarakat yang madani.
Giddens melukiskan kontradiksi antara globalisasi dalam dua perspektif tersebut pada teorina mengenai tipologi masyarakat tradisional dan post-tradisional. Dalam masyarakat yang bertipe tradisional, aktivitas individu tak ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan yang berlebihan, karena pilihan yang tersedia telah mengacu pada pradeterminasi, berupa kebiasaan, tradisi, atau nilai.
Di sisi lain, masyarakat post-tradisional lebih cenderung tidak memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang “pakem” dilakukan di masa sebelumnya. Justru, masyarakat post-tradisional lebih memperhatikan pertimbangan logis-rasional untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi ke depan.
Masyarakat post-tradisional inilah yang disebut sebagai masyarakat modern. Dalam satu perspektif, masyarakat modern lebih berpikiran rasional; ia dapat memperhitungkan apa yang akan terjadi ke depan dengan pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan pribadi, sehingga struktur yang berlaku bisa saja berubah setiap saat. Namun, dalam perspektif lain, modernitas ini justru berkorelasi negatif dengan sustainability dan lingkungan, karena pikiran rasional cenderung berorientasi pada modal dan keuntungan, dengan melepaskan alam sebagai basis kerja. Inilah yang dikritik oleh Giddens.
Giddens, ketika mengulas persoalan gugus institusi dari sebuah dunia modern, menunjuk bahwa ada tiga karakter dari modernisasi: globalisasi, detradisionalisasi, dan social reflexivity. Kita hanya akan mengulas salah satu variabel, yaitu globalisasi sebagai salah satu icon modernisasi. Globalisasi berkaitan dengan semakin berkurangnya jarak antara ruang dan waktu.


C.    Globalisasi dan Jalan Ketiga
Salah satu karakter globalisasi sendiri adalah semakin kaburnya border dan akses atas informasi yang kian tak terbatas. Hal ini dipotret oleh Giddes sebagai, “information produced by specialists (including scientific knowledge) can no longer be wholly confined to spesific groups, but becomes routinely interpreted and acted on by lay individuals in the course of their everyday actions”.
Arus informasi yang tak terbatas ini ternyata tidak dibarengi oleh penyelesaian tiga fenomena: disparitas kaya-miskin, destruksi lingkungan, dan penindasan oleh ruling class. Modernisasi, jika tak terkelola, berpotensi menjadi ‘tersangka’ atas kerusakan yang ada. Fenomena relasi struktur dan pelaku serta modernisasi yang tak terjaga ini menyebabkan modernitas tidak lebih dari struktur penindas dengan wajah baru.
Sehingga, ketika dipandang dalam perspektif yang berbeda, modernitas sama saja seperti unsteerable juggernaut travelling through space, atau kapal ulang-alik yang tak terkendali di tengah samudera ruang angkasa. Untuk itulah Giddens lebih menawarkan sebuah “jalan baru” yang ia sebut sebagai Jalan ketiga.
Jalan ketiga sendiri, dalam bukunya Giddens, merupakan hasil dari kritik atas sosialisme dan liberalisme. Jalan baru yang ditawarkan oleh Giddens ini cukup menarik, karena dalam bukunya ia menyulut kontroversi dengan menyatakan bahwa sosialisme telah berakhir. Namun, di sisi lain, ia juga mengkritik bahwa liberalisme takkan dapat diteruskan di era yang akan datang.
Ia sendiri menawarkan jalan ketiga, yang memiliki setidaknya enam dimensi:
1.      Memperbaiki kembali solidaritas yang retak;
2.      Mengakui sentralitas dari kehidupan politik;
3.      Menerima bahwa kepercayaan yang aktif akan menghasilkan sesuatu yang baik dari dunia politik; 
4.      Mendorong demokrasi yang dialogis, dengan adanya kesempatan dan hak yang sama dari pihak kaya maupun miskin;
5.      Memikirkan kembali konsep negara-kesejahteraan (welfare-state);
6.      Melawan kekerasan.
Mungkin, bagi sebagian pihak, pemikiran Giddens cenderung utopis. Akan tetapi, bagi perkembangan dunia sosiologi, Giddens justru menawarkan sebuah teori baru yang perlu diuji. Dalam kaitannya dengan globalisasi politik, Giddens menawarkan konsep demokrasi yang dialogis, atau seperti yang digambarkan oleh Giddens,


“Dialogic democracy presumes only that dialogue in a public space provides a means of living along with the other in a relation of mutual tolerance—whether that 'other' be an individual or a global community of religious believers”.

Penekanan terhadap demokrasi dialogis ini mengimplikasikan adanya public sphere bagi masyarakat yang hidup dalam kehidupan yang toleran dan penuh tenggang rasa. Demokrasi tidak serta merta mengabaikan hak untuk aktif berpartisipasi, tetapi juga tidak lantas menggugurkan hak untuk mendapat tempat yang sama. Artinya, seseorang mungkin saja menjadi pemimpin dalam satu komunitas, tetapi kepemimpinannya juga dibarengi oleh tanggung jawab kepada konstituennya.
Pemikiran Anthony Giddens memang kompleks dan tak mungkin dapat terjabarkan hanya dalam sebuah analisis. Akan tetapi, kita dapat mengambil beberapa poin, bahwa globalisasi politik memang harus ditimbang. Demokrasi, dalam konteks Indonesia, bukan solusi atas persoalan yang ada, tetapi hanya cara untuk menemukan solusi.

D.    Agenda Perubahan Giddens
1.      Negara harus merespon globalisasi secara structural. Globalisasi menciptakan penalaran dan dorongan yang kuat tidak hanya pada transfer otoritas ke bawah, tetapi jutga transfer otoritas ke atas. Pendemokrasian demokrasi dalam merespon globalisasi ini, menurutnya pertama-tama mengimplikasikan desentralisasi. Gerakan demokrasi ganda ini tidak dengan demikian sekedar menyebabkan melemahnya otoritas negara, tetapi juga merupakan kondisi untuk bisa menegaskan kembali otoritas negara-bangsa, karena gerakan ini dapat membuat negara lebih responsive terhadap pengaruh-pengaruh yang mengepung dan siap menyerangnya.
2.      Negara harus memperluas peran ruang publik, yang berarti reformasi konstitusional yang diarahkan pada transparansi dan keterbukaan yang lebih besar, serta pengenalan sarana perlindungan baru terhadap korupsi.
3.      Negara tanpa musuh, dengan meningkatkan efisiensi administratifnya. Pemerintah pada semua tingkatan tidak dipercaya karena tidak praktis, tidak efektif. Selain itu, istilah birokrasi yang berkonotasi aturan dan prosedur yang serba rumit, diciptakan untuk merujuk kepada pemerintah. Sebagian besar pemerintah harus belajar banyak kepada praktek bisnis, misalnya kontrol sasaran, auditing yan efektif, struktur keputusan yang fleksibel, dan peningkatan partisipasi pekerja, semuanya menjadi faktor penting reformasi kelembagaan dalam prasyarat demokratisasi.
4.      Tekanan globalisasi yang hingga ke bawah mendorong pemerintah untuk mampu menemukan bentuk dan potensi demokrasi yang ada dan tumbuh di masyarakat. lain yang hidup. Hal ini harus membangun kontak langsung dengan masyarakat.
5.      Negara harus memiliki kapasitas mengelola resiko, yang tidak hanya berhubungan dengan resiko atas jaminan keamanan, tetapi juga yang berkaitan dengan resiko ekonomis, juga resiko lainnya seperti perkembangan sains dan teknologi juga mempengaruhi pemerintah secara langsung.
6.      Pendemokratisasian demokrasi tidak bisa hanya secara lokal atau nasional. Negara harus memiliki pandangan kosmopolitan, sementara demokratisasi ke atas tidak berhenti pada tingkat regional. Pendemokratisasian mengasumsikan pembaruan masyarakat sipil. Desentralisasi dan devolusi, misalnya, memiliki keterkaitan yang menarik –mengembalikan kekuasaan kepada wilayah-wilayah, kota-kota, lingkungan-lingkungan tempat tingggal. Devolusi bisa mengarah kepada perpecahan jika tidak diimbangi dengan transfer kekuasaan “ke atas”
                                                                                             






BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Gagasan-gagasan politik jalan ketiga adalah bahwa negara dan masyarakat sipil harus bermitra, saling memberikan kemudahan, dan saling mengontrol. Reformasi negara dan pemerintah harus menjadi pronsip dasar. Tema mengenai pengembangan dan demokratisasi di tingkat komunitas juga sesuatu yang fundamental dalam pengembangan masyarakat sipil. Saling hubungan antara negara dan masyarakat sipil adalah bahwa pemerintah dapat mendorong pembaruan dan pembangunan masyarakat. Giddens menyebut basis ekonomi kemitraan tersebut sebagai ekonomi campuran baru (new Mixed economy) (Giddens, ibid, h. 79). Sementara ekonomi itu dapat efektif hanya jika institusi-institusi kesejahteraan yang ada dimodernisasikan secara menyeluruh. Bahwa kemajuan ekonomi yang efektif juga akan mendorong menguatnya pemerintah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar