DEMOKRASI
DALAM
SOSIALISME MODERN
Makalah ini
Disusun Guna Memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah :
Ilmu Negara
Disusun Oleh:
UNI MALIHAH
12340132
ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH
DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dunia
telah menapaki sebuah era baru: era globalisasi. Pasca-keruntuhan Uni Sovyet di
awal dekade 1990-an, Komunisme seakan menjadi sebuah dagangan yang tidak lagi
laku. Era dianggap telah berubah, seakan-akan tidak ada lagi alternatif baru
(Thatcher, 1992), dan ini disangka sebagai akhir dari sejarah dengan kemenangan
demokrasi-liberal (Fukuyama, 1989). Dunia dikuasai oleh sebuah kekuatan
unipolar yang hegemonik, dengan ancaman bahwa jika tidak taat pada kekuatan
tersebut, mereka akan kehilangan harapan untuk hidup.
Benarkah
demikian, bahwa tidak ada lagi jalan alternatif di dunia ini selain jalan
neoliberalisme? Anthony Giddens menawarkan hal sebaliknya. Bagi Giddens, masih
ada sepercik harapan dan jalan yang ia sebut sebagai “jalan ketiga”. Giddens,
yang mendasarkan pandangannya pada teori strukturasi, berpandangan pada
liberalisme tidak selamanya menawarkan kebaikan; masih ada celah yang harus
dibenahi dalam struktur sosial.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana teori Strukturasi Giddens mengenai jalan ketiga ?
2.
Bagaimana pandangan Giddens tentang modernisasi sebagai perspektif yang
berbeda?
3.
Bagaimanakah hubungan Globalisasi dengan Jalan Ketiga ?
4.
Bagaimana rumusan agenda perubahan Giddens dalam modernisasi ?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui teori Strukturasi Giddens mengenai jalan ketiga ;
2.
Untuk mengetahui pandangan Giddens tentang modernisasi sebagai perspektif
yang berbeda ;
3.
Untuk mengetahui hubungan Globalisasi dengan Jalan Ketiga ;
4.
Untuk mengetahui rumusan agenda perubahan Giddens dalam modernisasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori
Strukturasi
B. Modernisasi sebagai Perspektif yang Berbeda
Hal
menarik lain yang patut kita analisis dari pandangan Anthony Giddens adalah
pandangannya mengenai modernisasi. Ia beranggapan, modernisasi dapat dimaknai
dalam dua perspektif: sebagai mesin perusak dari nilai dan tradisi lokal, namun
juga bisa menjadi sebuah peluang untuk menuju tatanan masyarakat yang madani.
Giddens melukiskan kontradiksi antara globalisasi dalam dua perspektif tersebut pada teorina mengenai tipologi masyarakat tradisional dan post-tradisional. Dalam masyarakat yang bertipe tradisional, aktivitas individu tak ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan yang berlebihan, karena pilihan yang tersedia telah mengacu pada pradeterminasi, berupa kebiasaan, tradisi, atau nilai.
Giddens melukiskan kontradiksi antara globalisasi dalam dua perspektif tersebut pada teorina mengenai tipologi masyarakat tradisional dan post-tradisional. Dalam masyarakat yang bertipe tradisional, aktivitas individu tak ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan yang berlebihan, karena pilihan yang tersedia telah mengacu pada pradeterminasi, berupa kebiasaan, tradisi, atau nilai.
Di
sisi lain, masyarakat post-tradisional lebih cenderung tidak memperhatikan
kebiasaan-kebiasaan yang “pakem” dilakukan di masa sebelumnya. Justru,
masyarakat post-tradisional lebih memperhatikan pertimbangan logis-rasional
untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi ke depan.
Masyarakat
post-tradisional inilah yang disebut sebagai masyarakat modern. Dalam satu
perspektif, masyarakat modern lebih berpikiran rasional; ia dapat
memperhitungkan apa yang akan terjadi ke depan dengan pemikiran dan
pertimbangan-pertimbangan pribadi, sehingga struktur yang berlaku bisa saja
berubah setiap saat. Namun, dalam perspektif lain, modernitas ini justru
berkorelasi negatif dengan sustainability dan lingkungan, karena pikiran
rasional cenderung berorientasi pada modal dan keuntungan, dengan melepaskan
alam sebagai basis kerja. Inilah yang dikritik oleh Giddens.
Giddens,
ketika mengulas persoalan gugus institusi dari sebuah dunia modern, menunjuk
bahwa ada tiga karakter dari modernisasi: globalisasi, detradisionalisasi, dan
social reflexivity. Kita hanya akan mengulas salah satu variabel, yaitu
globalisasi sebagai salah satu icon modernisasi. Globalisasi berkaitan dengan
semakin berkurangnya jarak antara ruang dan waktu.
C. Globalisasi dan Jalan Ketiga
Salah
satu karakter globalisasi sendiri adalah semakin kaburnya border dan akses atas
informasi yang kian tak terbatas. Hal ini dipotret oleh Giddes sebagai,
“information produced by specialists (including scientific knowledge) can no
longer be wholly confined to spesific groups, but becomes routinely interpreted
and acted on by lay individuals in the course of their everyday actions”.
Arus
informasi yang tak terbatas ini ternyata tidak dibarengi oleh penyelesaian tiga
fenomena: disparitas kaya-miskin, destruksi lingkungan, dan penindasan oleh
ruling class. Modernisasi, jika tak terkelola, berpotensi menjadi ‘tersangka’
atas kerusakan yang ada. Fenomena relasi struktur dan pelaku serta modernisasi
yang tak terjaga ini menyebabkan modernitas tidak lebih dari struktur penindas
dengan wajah baru.
Sehingga,
ketika dipandang dalam perspektif yang berbeda, modernitas sama saja seperti
unsteerable juggernaut travelling through space, atau kapal ulang-alik yang tak
terkendali di tengah samudera ruang angkasa. Untuk itulah Giddens lebih
menawarkan sebuah “jalan baru” yang ia sebut sebagai Jalan ketiga.
Jalan
ketiga sendiri, dalam bukunya Giddens, merupakan hasil dari kritik atas
sosialisme dan liberalisme. Jalan baru yang ditawarkan oleh Giddens ini cukup
menarik, karena dalam bukunya ia menyulut kontroversi dengan menyatakan bahwa
sosialisme telah berakhir. Namun, di sisi lain, ia juga mengkritik bahwa
liberalisme takkan dapat diteruskan di era yang akan datang.
Ia
sendiri menawarkan jalan ketiga, yang memiliki setidaknya enam dimensi:
1. Memperbaiki
kembali solidaritas yang retak;
2. Mengakui
sentralitas dari kehidupan politik;
3. Menerima
bahwa kepercayaan yang aktif akan menghasilkan sesuatu yang baik dari dunia
politik;
4. Mendorong
demokrasi yang dialogis, dengan adanya kesempatan dan hak yang sama dari pihak
kaya maupun miskin;
5. Memikirkan
kembali konsep negara-kesejahteraan (welfare-state);
6. Melawan
kekerasan.
Mungkin,
bagi sebagian pihak, pemikiran Giddens cenderung utopis. Akan tetapi, bagi perkembangan
dunia sosiologi, Giddens justru menawarkan sebuah teori baru yang perlu diuji.
Dalam kaitannya dengan globalisasi politik, Giddens menawarkan konsep demokrasi
yang dialogis, atau seperti yang digambarkan oleh Giddens,
“Dialogic
democracy presumes only that dialogue in a public space provides a means of
living along with the other in a relation of mutual tolerance—whether that
'other' be an individual or a global community of religious believers”.
Penekanan
terhadap demokrasi dialogis ini mengimplikasikan adanya public sphere bagi
masyarakat yang hidup dalam kehidupan yang toleran dan penuh tenggang rasa.
Demokrasi tidak serta merta mengabaikan hak untuk aktif berpartisipasi, tetapi
juga tidak lantas menggugurkan hak untuk mendapat tempat yang sama. Artinya,
seseorang mungkin saja menjadi pemimpin dalam satu komunitas, tetapi
kepemimpinannya juga dibarengi oleh tanggung jawab kepada konstituennya.
Pemikiran
Anthony Giddens memang kompleks dan tak mungkin dapat terjabarkan hanya dalam
sebuah analisis. Akan tetapi, kita dapat mengambil beberapa poin, bahwa
globalisasi politik memang harus ditimbang. Demokrasi, dalam konteks Indonesia,
bukan solusi atas persoalan yang ada, tetapi hanya cara untuk menemukan solusi.
D. Agenda Perubahan Giddens
1. Negara
harus merespon globalisasi secara structural. Globalisasi menciptakan penalaran
dan dorongan yang kuat tidak hanya pada transfer otoritas ke bawah, tetapi
jutga transfer otoritas ke atas. Pendemokrasian demokrasi dalam merespon
globalisasi ini, menurutnya pertama-tama mengimplikasikan desentralisasi.
Gerakan demokrasi ganda ini tidak dengan demikian sekedar menyebabkan
melemahnya otoritas negara, tetapi juga merupakan kondisi untuk bisa menegaskan
kembali otoritas negara-bangsa, karena gerakan ini dapat membuat negara lebih
responsive terhadap pengaruh-pengaruh yang mengepung dan siap menyerangnya.
2. Negara
harus memperluas peran ruang publik, yang berarti reformasi konstitusional yang
diarahkan pada transparansi dan keterbukaan yang lebih besar, serta pengenalan sarana
perlindungan baru terhadap korupsi.
3. Negara
tanpa musuh, dengan meningkatkan efisiensi administratifnya. Pemerintah pada
semua tingkatan tidak dipercaya karena tidak praktis, tidak efektif. Selain
itu, istilah birokrasi yang berkonotasi aturan dan prosedur yang serba rumit,
diciptakan untuk merujuk kepada pemerintah. Sebagian besar pemerintah harus
belajar banyak kepada praktek bisnis, misalnya kontrol sasaran, auditing yan
efektif, struktur keputusan yang fleksibel, dan peningkatan partisipasi pekerja,
semuanya menjadi faktor penting reformasi kelembagaan dalam prasyarat
demokratisasi.
4. Tekanan
globalisasi yang hingga ke bawah mendorong pemerintah untuk mampu menemukan
bentuk dan potensi demokrasi yang ada dan tumbuh di masyarakat. lain yang
hidup. Hal ini harus membangun kontak langsung dengan masyarakat.
5. Negara
harus memiliki kapasitas mengelola resiko, yang tidak hanya berhubungan dengan
resiko atas jaminan keamanan, tetapi juga yang berkaitan dengan resiko
ekonomis, juga resiko lainnya seperti perkembangan sains dan teknologi juga
mempengaruhi pemerintah secara langsung.
6. Pendemokratisasian
demokrasi tidak bisa hanya secara lokal atau nasional. Negara harus memiliki
pandangan kosmopolitan, sementara demokratisasi ke atas tidak berhenti pada
tingkat regional. Pendemokratisasian mengasumsikan pembaruan masyarakat sipil.
Desentralisasi dan devolusi, misalnya, memiliki keterkaitan yang menarik
–mengembalikan kekuasaan kepada wilayah-wilayah, kota-kota,
lingkungan-lingkungan tempat tingggal. Devolusi bisa mengarah kepada perpecahan
jika tidak diimbangi dengan transfer kekuasaan “ke atas”
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Gagasan-gagasan
politik jalan ketiga adalah bahwa negara dan masyarakat sipil harus bermitra,
saling memberikan kemudahan, dan saling mengontrol. Reformasi negara dan
pemerintah harus menjadi pronsip dasar. Tema mengenai pengembangan dan
demokratisasi di tingkat komunitas juga sesuatu yang fundamental dalam
pengembangan masyarakat sipil. Saling hubungan antara negara dan masyarakat
sipil adalah bahwa pemerintah dapat mendorong pembaruan dan pembangunan
masyarakat. Giddens menyebut basis ekonomi kemitraan tersebut sebagai ekonomi
campuran baru (new Mixed economy) (Giddens, ibid, h. 79). Sementara ekonomi itu
dapat efektif hanya jika institusi-institusi kesejahteraan yang ada
dimodernisasikan secara menyeluruh. Bahwa kemajuan ekonomi yang efektif juga
akan mendorong menguatnya pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar