PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP KONSUMEN
Makalah ini
Disusun Guna Memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah :
Pengantar Ilmu Hukum
Disusun Oleh:
UNI MALIHAH
12340132
ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH
DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada tahun 1999 telah lahir
Undang-Undang perlindungan konsumen, yaitu Undang-Undang nomor 8 tahun tahun
1999 tentang perlindungan konsumen yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum
kepada konsumen. dalam undang undang ini juga di jelaskan mengenai tanggung
jawab pelaku usaha yang tentunya hal ini di atur untuk memberikan kepastian
hukum serta melindungi hak para konsumen tersebut. Hal demikian memang perlu di
atur karena untuk menghindari sikap negatuf pelaku usaha terhadap konsumen.
Perlindungan konsumen ini adalah
jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan
makanan yang dibeli dari produsen atau pelaku usaha. Namun dalam kenyataannya
saat ini konsumen seakan-akan dianak tirikan oleh para produsen atau pelaku
usaha tersebut.Undang undang tentang perlindungan konsumen ini memanag telah di
terbitkan namun dalam proses pelaksanaan atau aplikasi dari undang undang itu
sendiri belum maksimal atau dengan kata lain peraturan yang ada dalam undang
undang tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam beberapa kasus banyak ditemukan
pelanggaran-pelanggaran yang merugikan para konsumen yang tentunya berkaitan
dengan iklan yang menyesatkan dan tanggung jawab produsen (pelaku usaha) dalam
tingkatan yang dianggap membahayakan kesehatan bahkan jiwa dari para konsumen.
Peristiwa peristiwa seperti itu
tentunya sangat merugikan konsumen, maka seharusnya pelaku usaha bertanggung
jawab dengan kejadian tersebut sebagai implementasi dari undang undang nomor 8
tahun 1999. Untuk memperjelas masalah akan tanggung jawab pelaku usaha maka
makalah ini akan membahas mengenai masalah undang – undang perlindungan
konsumen dan tanggung jawab pelaku usaha.
B. Rumusan
Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini
adalah :
a.
Apakah informasi iklan menyesatkan termasuk dalam tindak
pidana penipuan dalam kitab undang – undang hukum pidana ( KUHP ) ?
b.
Pengaturan perlindungan konsumen periklanan di luar undang –
undang perlidungan konsumen
c.
Bagaimana tanggung jawab pelaku usaha pada kasus Klausula
Baku Perlindungan Konsumen Parkir dan Prita Mulyasari, Hak Konsumen Di
Perlakukan Tidak Adil
d.
Apakah tanggung jawab pelaku usaha terhadap kasus telah
terlaksana dengan baik atau belum ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini
adalah :
a. Untuk mengetahui Informasi iklan
menyesatkan sebagai tindak pidana penipuan dalan KUHP ;
b. Untuk mengetahui pengaturan konsumen
periklanan di luar undang – undang perlindungan konsumen ;
c. Untuk mengetahui Bagaimana tanggung jawab
pelaku usaha pada kasus Klausula Baku Perlindungan Konsumen Parkir dan Prita
Mulyasari, Hak Konsumen Di Perlakukan Tidak Adil ;
d. Untuk mengetahui apakah tanggung
jawab pelaku usaha ;
e. Untuk mengetahui kasus mengenai
perlindungan konsumen dan analisis hukumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
- Informasi Iklan Menyesatkan Sebagai Tindak Pidana Penipuan Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( KUHP )
Perkembangan dunia usaha yang sangat cepat, ditambah dengan
persaingan di antara para pelaku usaha yang semakin kompetitif, mendorong
sebagian pelaku usaha untuk memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mencari
keuntungan yang sebesar – besarnya tanpa memperdulikanapakah akibat dari
perbuatannya itu akan merugikan orang lain atau tidak. Yang diutamakan pelaku
usaha dalam menjalankan kerajaa bisnisnya adalah mengeruk sebanyak mungkn uang
yang ada di kantong konsumen untuk dipindahkan ke kantong pelaku usaha dengan
bebagai cara.
Sifat yang demikian akan mengarahkan kepada terjadinya
tindakan pelaku usaha yang dapat dianggap kurang etis dalam norma dunia usaha
berupa regulasi sendiri ( self regulation ) atau lebih dikenal dengan kode
etik, melanggar ketentuan peraturan perundang – undangan, bahkan mungkin sampai
kepada terjadinya tindakan criminal ( delik ).[1]
Secara umum, menyatakan sesuatu yang tidak benar memang
sudah terdapat pengaturannya dalam peraturan perundang – undangan yang telah
ada. Umpamanaya mengenai pemberian keterangan yang tidak benar dalam perjanjian asuransi, bkan saja
mempunyai akibat hukum dalam KUHP Perdata, akan tetapi juga merupakan suatu
perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana.
Di dalam hukum pidana tentang pemberian keterangan yang
tidak benar melalui media iklan, memang tidak secara tegas di sebutkan. Tetapi
apabila ditinjau Buku kedua KUHP Bab XXV ( dua puluh lima ), termuat berbagai
ketentetuan mengenai kejahatan perbuatan curang atau yang lebih dikenal dengan
istilah penipuan, yang terdiri dari dua puluh Pasal. Dalam fua puluh pasal tersebut
secara terperinci disebutkan perbuatan – perbuatan yang dianggap sebagai
penipuan, antara lain peniuan terhadap asuransi, persaingan curang, penipuan
dalam jual beli, sampai kepada penipuan di bidang kepengacaraannya.[2]
Apabila dicoba untuk menempatkan perbuatan pidana pemberian
keterangan yang tidak benar tersebut
dalam konteks perbuatan – peruatan yang dianggap sebagai penipuan, maka
terdapat dua kemungkinan penempatan yang sesuai, yaitu apabila dilihat dampak
dari perbuatan terebut antar sesame pelaku usaha maka pemberian keterangan yag tidak
beanr tersebut dapat ditempatan sebagai persaingan curang,[3]
sebagai mana datur dalam pasal 382 bis KUHP :
“Barang
siapa melakukan sesuatu perbuatan menipu untuk mengelirukan uang banyak atau
seseorang yang tertentu dengan maksud akan mendirikan atau membesarkn hasil
perdagangan atau perusahaannya sendiri atau kepunyaan orang lain, dihukum
karena persaingan curang dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat
bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 13.500,-(tiga belas ribu lima ratus
rupiah) jika hal tersebut dapat menimbulkan suatu kerugian bagi saingannya
sendiri atau saingan orang lain.
Tetapi apabila dikaitkan dampak dari perbuatan tersebut
terhadap konsumen, maka perbuatan pemberian keterangan yang tidak benar
tersebut dapat ditempatkan sebagai penipuan dalam jual beli, sebagaimana dimuat
ketentuannya dalam Pasal 378 KUHP sebagai berikut.
“Barang
siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hak,baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal
dan tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk
orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang, atau menghapuskan
piutang, dihukum karena penipuan dengan hukuman penjara selama-lamanya empat
tahun”.
Sesuai
dengan ketentuan Pasal 378 KUHP ini, maka unsur penipuan dalam bentuk
penyesatan informasi melalui iklan dapat terjadi dengan memberikan
perkataan-perkataan bohong mengenai kondisi, jaminan ,dan lain-lain hal dari
produk yang diiklankan, dengan maksud untuk membujuk konsumen agar memilih dan
membeli produk pelaku usaha tersebut. Karena fakta-fakta yang menjadi dasar
pertimbangan konsumen dalam memilih dan membeli produk mengandung muatan
informasi bohong maka konsumen sangat potensial untuk menjadi pihak yang
dirugikan.
Terhadap pelaku usaha yang telah melakukan penipuan terhadap
konsumen melalui iklan dapat pula diancam pidana sesuai dengan ketentuan Pasal
383 KUHP yang menegaskan berikut ini.
Dengan
hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan dihukum penjual yang
menipu pembeli:
1e. dengan sengaja menyerahkan
barang lain daripada yang telah ditunjuk oleh pembeli;
2e.
tentang keadaan,sifat atau banyaknya barang yang diserahkan itu dengan
memakai akal dan tipu muslihat.
Unsur
pidana lain dalam bentuk perbuatan “menawarkan” juga dapat digunakan untuk
menjerat pelaku usaha yang memberikan informasi iklan menyesatkan, antara lain
dalam Pasal 386 ayat (1) KUHP sebagai berikut.
“Barang
siapa menjual, menawarkan atau menyerahkan barang makanan atau minuman atau
obat, sedang diketahuinya barang-barang itu dipalsukan atau kepalsuan itu
disembunyikan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.”
Selain
Pasal 368 Ayat (1) KUHP, perbuatan menawarkan juga terdapat dalam Pasal 204
KUHP yang menentukan:
(1) Barang siapa menjual,menawarkan,
menerimakan, atau membagi-bagikan barang,sedangkan diketahuinya bahwa barang
berbahaya bagi jiwa atu kesehatan orang dan sifat yang berbahaya itu
didiamkannya dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun;
(2) Kalau ada orang mati lantaran
perbuatan itu sitersalah dihukum penjara seumur hidup atau penjara sementara
selama-lamanya dua puluh tahun;
Kegiatan periklanan sebagai upaya mempromosikan suatu produk
dapat dikategorikan sebagai perbuatan menawarkan.Secara kemasyarakatan pengertian
penawaran dapat diartkan sebagai penawaran yang dilakukan secara langsung pada
saat transaksi terjadi, tetapi penawaran barang atau jasa tertentu dapat juga
dilakukan dengan mempergunakan atau melalui iklan atau periklanan.[4]Penawaran
biasanya dilakukan semenarik mungkin oleh pelaku usaha tanpa selalu harus
memperhatikan kebenaran informasi yang disampaikan kepada konsumen, termasuk
dengan menawarkan barang palsu sebagai barang asli, atau menawarkan barang
berbahaya tanpa memberitahukan bahaya penggunaan barang tersebut.
Kebijakan penanggulangan kejahatan (kebijakan kriminal)
dengan mempergunakan instrument hukum pidana berkenaan dengan kegiatan
periklanan, selain terdapat dalam KUHP juga terdapat diluar KUHP dalam beberapa
bentuk peraturan perundang-undangan lain seperti UUPK, PP, dan beberapa
peraturan menteri.
Ketentuan sanksi pidana dalam UUPK termuat dalam Pasal 61
sampai dengan Pasal 63 UUPK. Pasal 61 UUPK menegaskan penuntutan pidana dapat
dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.Ketentuan ini membuka
kemungkinan dilakukannya penuntutan pidana terhadap pelaku usaha yang
beroperasi secara perorangan, maupun terhadap pelaku berbentuk korporasi.
Pada umumnya para pihak yang terlibat dalam kegiatan
periklanan,apakah itu pengiklan, perusahaan periklanan, maupun media
iklan,adalah bentuk korporasi.Sehingga, untuk meminta pertanggungjawaban pidana
terhadap pelaku usaha berbetuk korporasi tersebut akan mengalami kendala,
mengingat korporasi dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum pelaku tindak
pidana tidak dapat menunaikan hak dan kewajibannya sendiri, tetapi membutuhkan
suatu perwakilan melali pengurus-pengurusnya guna mewakili korporasi baik
kedalam maupun keluar.
Selain itu, korporasi yang berbentuk sebagai badan hukum dan
berbentuk perseroan terbatas, menjadikan perseroan tersebut sebagai subyek yang
mandiri, memiliki harta kekayaan sendiri,disertai kewenangan bertindak secara
terlepas dari harta kekayaan dan kewajiban pribadi para pengurusnya. Berkenaan
dengan hal tersebut, maka dikenal dua bentuk pertanggugjawaban dalam korporasi,
yaitu pertanggungjawaban pengurus korporasi sebagai pribadi, dan
pertanggungjawaban pengurus dalam rangka mewakili korporasi sebagai subyek
hukum yang mandiri.
Dalam hal kategori yang pertama, direksi (termasuk
komisaris) yang juga hanya sebagai organ sebagai rapat umum pemegang saham
(RUPS), akan bertanggung jawab sevara pribadi atas segala sesuatu yang terjadi
berkenaan dengan pelaksanaan tugasnya apabila didalam pelaksanaan tugas
kepengurusan PT sebagai subyek hukum, terbukti melanggar ketentuan
undang-undang dan/atau anggaran dasar perseroan. Sebaliknya, termasuk dalam
kategori kedua, apabila tidak terdapat pelanggaran atas ketentuan dalam
undang-undang dan/atau anggaran dasar perseroan,maka segaa sesuatu yang terjadi
akan menjadi anggung jawab PT sebagai subjek hukum mandiri.
Selanjutnya
menurut Barda Nawawi Arief, perumusan tindak pidan dalam Pasal 62 UUPK terbagi
menjadi dua kelompok, yaitu : [5]
Kelompok pertama, sebagaimana
ketentuan Pasal 62 ayat (1) UUPK yang menentukan:
“Pelaku
usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, huruf e, ayat (20 dan Pasal 18 dipidaa dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,-(dua milyar
rupiah)”.
Kelompok kedua, sebagaimana ketentuan Pasal 62 ayat (2) UUPK
yang menentukan:
“Pelaku
usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,Pasal 12, Pasal
13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, Pasal 17 ayat (1) huruf d, dan huruf f
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 500.000.000,-(lima ratus juta rupiah)”.
Pelanggaran kegiatan periklanan yang dapat diancam pidana
dalam kelompok pertama adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal
10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e,
Pasal 17 ayat (2) UUPK. Sedangkan kegiatan periklanan yang dapat diancam dengan
pidana dalam kelompok kedua adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 12, Pasal 13
ayat (1), Pasal 17 ayat (1) huruf d, huruf f UUPK.
Pengelompokan ketentuan Pasal 62 UUPK tersebut didasarkan
jenis sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana, terbagi atas 2
(dua) tingkatan,yaitu sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak sebesar Rp 2.000.000.000,-(dua milyar rupiah) dan
sanksi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp 500.000.000,-(lima ratus juta rupiah).Kemudian, sanksi pidana berupa denda
yang diancamkan Pasal 62 UUPK termasuk dalam jenis hukuman pidana pokok dalam
KUHP, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 KUHP, yaitu :
a. Hukuman mati ;
b. Hukuman penjara ;
c. Hukuman kurungan ;
d. Hukuman denda ;
Dalam tulisannya Ahmadi Miru menambahkan, pengelompokan
Pasal 62 UUPK juga dapat didasarkan kepada tingkat pelanggaran yang dilakukan
oleh pelaku usaha, yaitu pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit
berat, caca tetap, atau kematian, diberlakukan ketentuan hukum pidana
sebagaimana diatur dalam KUHP, sementara di luar dari tingkat pelanggaran
tersebut berlaku ketentuan pidana tersebut dalam UUPK. Pengelompokan yang
dilakukan Ahmadi Miru ini dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 62 ayat ( 3 )
UUPK, yaitu terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat,
cacat tetap, atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Selain dapat dikenakan sanksi pidana pokok sebagaimana
diatur dalam Pasal 62 UUPK, pelaku usaha sesuai ketentuan Pasal 63 UUPK dapat
pula diancam hukuman tambahan, berupa :
a. Perampasan baramg tertentu ;
b. Pengumuman keputusan hakim ;
c. Pembayaran ganti rugi ;
d. Perintah penghentian kegiatan
tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen ;
e. Kewajiban penarikan barang dari
peredaran ;
f. Pencabutan izin usaha.
Hukuman pidana tambahan sebagai pendamping hukuman pidana
pokok diaplikasikan bersamaan dengan hukuman pidana tambahan dalam KUHP, yaitu
:
a. Pencabutan beberapa hak yang
tertentu ;
b. Perampasan barang tertentu ;
c. Pengumuman keputusan hakim.
Dengan dikenakannya sanksi pidana pokok maupun pidana
tambahan bagi pelaku usaha maupun pelaku usaha periklanan, diharapkan dapat
menmbulkan efek jera bagi si pelaku, serta dapat memberikan manfaat yang lebih
besar kepada konsumen dengan dimungkinkannya pembayaran ganti rugi. Dalam
konteks tersebut, UUPK telah memberikan paradigm
baru yang lebih berorientasi kepada kepentingan / hak korban, sebagai pengganti
system KUHP yang tidak memiliki orientasi hukum terhadap kepentingan / hak
korban tindak pidana. Dengan paradigm baru ini, penuntut umum ketika akan
mengajukan tuntutan pidana di persidangan semestinya mengajukan tuntutan pidana
tambahan berupa pembayaran ganti rugi.
Hal lainnya yang merupakan perkembangan baru dalam upaya memberikan
perlindungan kepada korban ( konsumen ) adalah menempatkan fungsi subsider
hukum pidana berjalan bersama – sama dengan instrument hukum dagang, dan hukum
administrasi Negara, sehingga diharapkan pemecahan – pemecahan masalah dalam
masyarakat dapat dilakukan secara memadai dan tuntas.
- Pengaturan Perlindungan Konsumen Periklanan Di Luar Undang – Undang Perlindungan Konsumen
Periklanan termasuk dalam bentuk kegiatan yang melibatkan
beberapa ketentuan hukum dalam upaya penegakkannya. Hal ini berkaitan dengan
struktur hukum perlindungan konsumen yang meliputi :
- Hukum perdata dalam arti luas, terdiri atas hukum perdata, hukum dagang, dan hukum adat ;
- Hukum public, terdiri atas hukum administrasi, hukum pidana, hukum pedata internasional, dan hukum acara perdata / hukum acara pidana.[6]
Keterlibatan aturan –aturan hukum tersebut, dapat dipahami
dengan adanya aspek perlindungan kosumen di dalamnya, misalnya berkenaan hak
dan kewajiban para pihak, dan bagaimana cara mempertahankan hak – hak konsumen
terhadap gangguan dari pihak lain. Di samping itu, kemungkinan berlakunya
ketentuan hukum di luar UUPK dimungkinkan oleh adanya Ketentuan Peralihan Pasal
64 UUPK yang menentukan :
“
segala peraturan perundang – undangan yang bertujuan melindungi konsumen
yang telah ada pada saat undang – undang ini diundangkan, dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/ atau tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam undang – undang ini.”
Oleh karena itu, di luar Undang – Undang Perlindungan
Konsumen ( UUPK ) dapat ditemukan beberapa peraturan yang sifatnya parsial
sebagai hukum positif Indonesia.
- Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Tanggung jawab pelaku usaha tercantum dalam UU perlindungan
konsumen pasal 19 yaitu ; [7]
UU No.8 tahun 1999 Pasal 19
1. Pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen
akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa
yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan
dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya
tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur
kesalahan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan
bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Inti dari pasal di atas adalah pelaku usaha bertanggung
jawab atas segala kerugian yang timbul dari hasil produk/jasanya. Seperti yang
di sebutkan pada pasal 19 ayat 1, Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan
ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Berdasarkan ayat 2 pasal yang sama, Ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang
dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan
dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pemberian ganti rugi tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan
pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsure kesalahan.
- Contoh Kasus Dan Analisis Hukumnya
Kasus 1
Klausula Baku Perlindungan Konsumen Parkir
Bayangkan
bila suatu saat anda memarkir kendaraan anda di lokasi parkir yang resmi dan
berkarcis, kemudian saat anda hendak meninggalkan lokasi, ternyata kendaraan
anda lenyap tak berbekas. Padahal karcis, kunci dan STNK masih di tangan anda.
Tindakan apakah pengelola yang akan anda lakukan? Melapor ke pengelola parkir
tentunya. Kemudian pihak pengelola parkir akan menampung laporan anda dan
membuatkan Surat Tanda Bukti Lapor (STBL).[8]
Sayangnya,
bila anda tidak ngotot memperjuangkan hak anda, besar kemungkinan laporan anda
akan berakhir dengan pernyataan pelepasan tanggung jawab oleh pihak parkir.
Dasar yang mereka pakai biasanya adalah klausula yang tercantum dalam (hampir
semua) karcis parkir resmi. Klausula itu umumnya berbunyi ”pengelola parkir tidak
bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan atau
kehilangan kendaraan berikut isinya”.
Ironisnya,
klausula baku di bidang perparkiran ternyata dilegalkan Pemprov DKI Jakarta
melalui Perda No 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran. Pasal 36 ayat (2) Perda DKI
Jakarta No. 5 Tahun 1999 menyatakan: “Atas hilangnya kendaraan dan atau
barang-barang yang berada di dalam kendaraan atau rusaknya kendaraan selama
berada di dalam petak parkir merupakan tanggung jawab pemakai tempat
parkir“.Lantas, apa yang harus dilakukan?bagaimana kaitan hal tersebut dengan
dengan undang undang perlindunhan konsumen?
Analisis kasus 1
Hubungan
antara pemilik kendaraan yang diparkir dengan pihak pengelola parkir
sesungguhnya adalah hubungan antara konsumen dengan produsen (jasa). Konsumen
menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”)
pasal 1 butir 2 adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup dan tidak untuk diperdagangkan. [9]
Sebagaimana
umum terjadi, hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha seringkali bersifat
subordinat. Kedudukan produsen/pelaku usaha yang lebih kuat salah satunya
dilakukan dengan menetapkan syarat-syarat sepihak yang harus disetujui dan
diikuti oleh konsumen.
Syarat
sepihak ini dikenal pula dengan istilah ”klausula baku”. Bisnis perparkiran
sendiri sebenarnya adalah bisnis yang menjanjikan keuntungan besar bagi
pengelolanya. Karena itu jaminan perlindungan hukum kepada konsumen parkir
harus lebih diseimbangkan.
Pengertian
klausula baku terdapat dalam pasal 1 butir 10 UUPK yang menyatakan bahwa
klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib
dipenuhi oleh konsumen.
Sesungguhnya
pencantuman klausula baku ini telah dilarang oleh UUPK. Mengenai larangan
pencantuman klausula baku, Pasal 18 UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha dalam
menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang
membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian, di antaranya apabila klausula tersebut menyatakan pengalihan
tanggungjawab pelaku usaha dan menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan
yang berwujud sebagai aturan baru, tambahan, lanjutan atau pengubahan lanjutan
yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa
yang dibelinya. Pelaku usaha juga dilarang mencantumkan klausula baku yang
letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
Setiap
klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan tersebut dinyatakan batal demi hukum. Dalam
penjelasan UUPK dinyatakan bahwa larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan
kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan
berkontrak. Asas kebebasan berkontrak, di satu sisi, memang seolah-olah
mengesahkan keberadaan klausula baku tersebut.
Selama
para pihak yang terlibat setuju-setuju saja maka tidak ada yang perlu
dipermasalahkan. Namun di sisi lain asas kebebasan berkontrak tidaklah adil
bila diterapkan pada dua pihak yang memiliki posisi tawar yang tidak seimbang.
Dalam
kasus ini kedudukan konsumen memang lebih rendah jika d bandingkan pelaku usaha
yang seharusnya adalah tidak demikian. Dalam pasal 9 ayat 1 UUPK jelas di
sebutkan bahwa Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Jadi dalam kasus ini undang
undang yang ada tidak sejalan dengan kenyataan yang terjadi.
Kasus 2
Prita Mulyasari, Hak Konsumen Di
Perlakukan Tidak Adil
Hari-hari
ini kita disibukkan dengan kasus Prita Mulyasari, seorang ibu berusia 32 tahun,
yang semula dirawat inap di sebuah rumah sakit swasta bertaraf internasional,
namun pelayananannya tidak memuaskannya, karena hasil lab yang memaksanya rawat
inap itu tidak dapat dia peroleh. Maka dia curhat ke teman-temannya melalui
email, sayang email ini kemudian bocor ke publik melalui milis, dan si ibu
Prita ini lalu dituntut oleh Rumah Sakit itu dengan tuduhan pencemaran nama
baik, melanggar pasal 310 dan 311 KUHP, dan pasal 27 UU 11/2008 ttg Informasi
dan Transaksi Elektronik (“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”) yang dalam pasal 45 UU tersebut
diancam dengan penjara 6 tahun dan/atau denda 1 Milyar Rupiah. Karena ancaman
hukumannya lebih dari 5 tahun ini maka si ibu yang malang ini langsung ditahan
hingga 3 minggu, dan baru dilepas setelah kasusnya menjadi perhatian publik,
bahkan perhatian para capres yang sedang kampanye.[10]
Si
ibu yang malang ini semula hanya ingin mengadukan nasibnya sebagai pasien,
konsumen layanan medis. Jutaan pasien di negeri ini dalam posisi lemah terhadap
dokter dan rumah sakit yang jarang proaktif memberikan informasi yang lengkap
kepada pasien, apalagi pilihan tentang jenis obat atau tindakan yang diperlukan
pasien. Pasien hanya sekedar menjadi objek, bukan subjek yang memiliki kehendak
dan bisa diajak kerjasama memulihkan kesehatannya. Perlakuan dokter atau rumah
sakit ini makin menggila jika pasien ditanggung oleh asuransi swasta. Dengan
alasan memberi layanan terbaik, maka obat yang termahal pun diberikan,
sekalipun mungkin tidak dibutuhkan oleh fisik pasien, atau bahkan dalam jangka
panjang bisa merusak organ vital pasien.
Ketika
pasien diperlakukan semacam ini, kepada siapa dia akan mengadu? Meski ada UU no
8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan telah dibentuk Badan Perlindungan
Konsumen Nasional (BPKN) di Departemen Perdagangan, namun faktanya tidak banyak
masyarakat yang tahu keberadaannya. Akibatnya orang lebih suka mengeluh ke mana
saja pihak yang dia percaya: ke LSM seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI), ke Komnas HAM, ke DPR, atau menulis surat pembaca ke media massa atau
email ke dunia maya. Ini terjadi karena BPKN hanya bertindak setelah ada
pengaduan langsung kepadanya. BPKN tidak diwajibkan bertindak proaktif dengan
memonitor dunia perdagangan, sekalipun hanya dari surat pembaca di media massa.
Masalahnya,
begitu menjadi konsumsi publik, keluhan konsumen ini dapat dengan mudah
dibalikkan oleh yang merasa lebih kuat (yaitu produsen) dengan tuduhan
pencemaran nama baik. Polisi, Jaksa ataupun Hakim yang menangani pun bisa
bertindak tidak profesional, baik karena alasan keyakinan tertentu (yang
mungkin mitos), alasan politis maupun alasan kepentingan lain yang terkait
dengan pihak yang lebih kuat itu. Maka sang konsumen yang malang tadi tertimpa
tangga dua kali: diperlakukan tidak adil dalam transaksi muamalahnya, lalu
didzalimi oleh alat negara ketika mencari keadilan.
Analisis kasus 2
Dalam
kasus prita mulya sari di atas,terlihat jelas bahwa lagi lagi kekuatan konsumen
lebih lemah jika di bandingkan dangan kekuatan produsen. Dalam kasus ini, prita
sebenarnya telah di rugikan oleh produsen (pelaku usaha) pelayan medis.karena
dalam kasus ini prita mulya sari juga merupakan sebagai konsumen,sesuai dengan
pengertian konsumen pada pasal 1 angka 2 “Konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan”. Dan pihak rumah sakit adalah merupakan produse (pelaku usaha)
sesuai dengan pengertian pelaku usaha pada pasal 1 ayat 3 UUPK “ Pelaku usaha
adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi. [11]
Jadi
seharusnya prita mendapat perlindungan sebagai konsumen jika di kaitkan dengan
UUPK. Sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 19 UUPK tentang kewajiban pelaku
usaha bukan masalah sebaliknya pelaku usaha dalam hal ini rumah sakit malah
menuntut prita. Jadi jelas bahwa UUPK ini belum bisa sejalan dengan kenyataan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
- Pasal 382 KUHP, Iklan yang menyesatkan sebagai tindak pidana penipuan :
“ Barang siapa melakukan sesuatu
perbuatan menipi untuk mengelirukan orang banyak atau seseorang yang tertentu
dengan maksud akan mendirikan atau membesarkan hasil perdagangan atau
perusahaannya sendiri atau kepunyaan orang lain, dihukum karena persaingan
curang dengan hukuman penjara selama – lamanya satu tahun empat bulan atau
denda sebanyak – banyaknya Rp 13.500,- ( tiga belas ribu lima ratus rupiah )
jika hal tersebut dapat menimbulkan suatu kerugian bagi saingannya sendiri atau
saingan orang lain”.
2. UU No.8 tahun 1999 Pasal 19,
tanggung jawab pelaku usaha:
a. Pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,dan/atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau
jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
c. Pemberian ganti rugi dilaksanakan
dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
d. Pemberian ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya
tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur
kesalahan.
e. Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan
bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Berdasarkan
pembahasan diatas maka kami menyimpulkan bahwa hingga saat ini perlindungan
konsumen masih menjadi hal yang harus diperhatikan. Konsumen sering kali
dirugikan dengan pelanggaran-pelanggaran oleh produsen atau penjual.
Pelanggaran- pelanggaran yang terjadi saat ini bukan hanya pelanggaran dalam
skala kecil, namun sudah tergolong kedalam skala besar. Dalam hal ini
seharusnya pemerintah lebih siap dalam mengambil tindakan. Pemerintah harus
segera menangani masalah ini sebelum akhirnya semua konsumen harus menanggung
kerugian yang lebih berat akibat efek samping dari tidak adanya perlindungan
konsumen atau jaminan terhadap konsumen.
Saran
Saran
yang dapat penulis berikan adalah,dalam pelaksanaannya Undang-Undang
perlindungan konsumen di Indonesia saat ini harus lebih di tegakkan lagi agar
tujuan dari pada undang undang itu sendiri dapat terlaksana dengan
baik.sehingga undang undang ini betul betul dapat menengkat harkat dan
mmartabat konsumen serta dapat memberikan kepastian hukum yang jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Johannes, Tanggung Jawab
Pelaku Usaha Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
Dalam Seminar Nasional : Antisipasi Pelaku Usaha Terhadap Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Horison Hotel, Bandung. 8 April 2000.
Miru, Ahmadi, dan Yodo, Sutarman.
2004. HukumPerlindungan Konsumen. Jakarta: PT Raja Grafindo
Malik, Muhammad Rusli. 13 Desember, Hukum
Perlindungan Konsumen. Diakses pada 24 Desember 2012
Nasution, A.z.1995. Kedudukan
Hukum Konsumen Terhadap Dampak Iklan. Yogyakarta: Diadit Media
Shidarta. 2000. Hukum
Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT Grasindo
Shofie,Yusuf.2003.Perlindungan Konsumen
dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: PT Citra Aditya Bakti
Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen.
[1] Johannes Gunawan. Hukum
Perlindungan Konsumen Indonesia dan Perdagangan Bebas. ( Bandung : Universitas
Katolik Parahyangan bekerjasama dengan PT.Citra Aditya Bakti, 2003 ).hal. 116.
[2]Johannes Gunawan. Hukum
Perlindungan Konsumen Indonesia dan Perdagangan Bebas. ( Bandung :
Universitas Katolik Parahyangan bekerjasama dengan PT.Citra Aditya Bakti, 2003
),hal. 117.
[3]
A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen ( suatu Pngantar), (
Yogyakarta: Diadit Media. 2001) hal. 12 - 13
[4] Yusuf Shofie.Perlindungan
Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya ( Bandung : PT Citra Aditya
Bakti. 2003)hal 254.
[5]
Ahmadi Miru dan Sutarman,Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: PT Raja Grafindo.2004). hal. 56.
[6]
Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia( Jakarta: PT Grasindo.2000).
hal. 59.
[7][7] Muhammad Rusli Malik. 13
Desember. Hukum Perlindungan Konsumen.Diakses tanggal 24 desember 2012
[8]
Muhammad Rusli Malik. 13 Desember. Hukum Perlindungan Konsumen.Diakses
tanggal 24 desember 2012
[9]
Muhammad Rusli Malik. 13 Desember. Hukum Perlindungan Konsumen.Diakses
tanggal 24 desember 2012
[10]
Muhammad Rusli Malik. 13 Desember. Hukum Perlindungan Konsumen.Diakses
tanggal 24 desember 2012
[11]
Muhammad Rusli Malik. 13 Desember. Hukum Perlindungan Konsumen.Diakses
tanggal 24 desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar