TAFSIR AL BAQARAH 188
LARANGAN MEMPENGARUHI HAKIM
Makalah ini
Disusun Guna Memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah :
Tafsir Ayat Hukum
Disusun Oleh:
Uni malihah ( 12340132)
ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH
DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum
wr,wb,.
Alhamdulillah Berkat pertolongan Allah SWT kami penulis
dapat menyajikan makalah yang berjudul “ Larangan Mempengaruhi Hakim.” didalamnya
membahas tentang larangan bagi kita untuk memakan harta orang lain dan
mempenagruhi hakim.
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas prodi ilmu hukum
dalam materi tafsir ayat hukum di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, disamping itu
juga sebagai pembelajaran bagi kami penulis untuk mengetahui semua aspek aspek
yang berkaitan dengan tafsir Al Quran surah Al-baqarah ayat 188.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih sangat
jauh dari sempurna, baik dalam isi, susunan kalimat maupun sistematika
pembahasannya. Untuk itu teguran, saran dan nasihat para pembaca serta dosen
Pengampu senantiasa kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami ini,. tiada
gading yang tak retak,kata pepatah.
Namun upaya mencari gading yang tidak retak setidaknya telah
kami usahakan. Akhirnya segala kesalahan dan kekurangan adalah tanggung jawab
kami sebagai penusun.namun,apabila terdapat kebenaran dalam Makalah ini semata
karena hanya ridho, tuntunan, dan petunjuk dari Allah sang maha pencipta.
Wassalamualaikum wr,wb
Yogyakarta,
29 November 2012
penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Akhir – akhir ini ramai diberitakan di media masa tentang adanya oknum penegak hukum yang
menerima sejumlah dana yang patut diduga berkaitan dengan perkara yang telah
ditanganinya. Seandainya informasi dan pemberitaan itu benar, maka suatu hal
yang sangat memprihatinkan sebagai instasi penegak hukum yang selama ini kita
junjung tinggi, karena boleh jadi yang muncul satu ini tetapi sesungguhnya di
permukaan banyak sekali yang boleh jadi tidak dapat diketahui oleh orang
banyak. Akan tetapi apabila penegak hukum ang mempermainkan hukum, maka tunggu
masa kehancuran.
Salah asatu yang terlarang dan sering dilakukan
dalam masyarakat adalah menyogok dan disogok. Penyogok menurunkan keinginannya
kepada yang berweanang memutuskan sesuatu, tetapi secara sembunyi – sembunyi
dan dengan tujuan mengambil sesuatu secara tidak sah. Untuk itu disini akan
dibahas secara lengkap tafsir surat Al Baqarah Ayat 188 tentang larangan
mempengaruhi hakim dan larangan untuk memakan harta orang lain.
B. RUMUSAN MASALAH
Ø Bagaimanakah Penafsiran
QS.Al-Baqarah ayat 188 yaitu tentang larangan mempengaruhi hakim ?
Ø Dengan menguraikan:
1. Bunyi ayat dan terjemahan dari QS.Al-Baqarah ayat188.
2. Kata penting atau Keyword dari QS.Al-Baqarah ayat188.
3. Asbabunnuzul
QS.Al-Baqarah ayat 188.
4. Korelasi dengan ayat yang lainya.
5. Tafsir dan penjelasannya
BAB II
PEMBAHASAN
- Bunyi Ayat dan Terjemahnya
wur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)Ìsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan
harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, Padahal kamu mengetahui.
- Keyword atau Kata penting
1.
Huruf وَ (wa,
dan) di awal ayat ini mengisyaratkan masih adanya hubungan dengan
pembahasan puasa di ayat-ayat sebelumnya (183-187). Kata لاَ تَأْكُلُواْ (lā
ta’kulū, janganlah memakan) adalah bentuk naɦyi (larangan)
dari amr (kata kerja perintah) كُلُواْ (kulū,makanlah) yang kita
temukan di ayat 187 (baca poin-4). Pada dasarnya keduanya sama-sama perintah;
satu perintah untuk meninggalkan (naɦyi), dan yang satunya lagi
perintah untuk melaksanakan (amr). Pada bentuk amr-nya Allah
berfirman: وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ
لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ [wa kulū wasyrabū hattā yatabayyana
lakumul-khaythul-abyadlu minal-khaythil-aswadi minal-fajri, serta
makan dan minumlah hingga nyata bagimu (perbedaan antara) benang putih dari
benang hitam di waktu fajar]. Artinya, begitu sudah nyata atau jelas
perbedaan benang putih dari benang hitam, maka aktivitas makan harus
dihentikan. Secara batiniah, benang putih dan benang hitam bisa
dimaknai sebagai hak dan bātil. Tujuan puasa ialah takwa
(ayat 183), sementara takwa menjadi prakondisi munculnya furqān
(kemampuan jiwa untuk membedakan antara yang hak dan yang batil)—(8:29). Orang
yang berpuasa, kalau begitu, adalah orang yang mampu membedakan mana hak dan
mana batil. Orang yang berpuasa adalah orang yang dapat berlaku amr
(perintah) terhadap yang hak dan naɦyi (larangan)
terhadap yang bātil. Maka, ayat 188 ini, dapat dikatakan
sebagai buah dari puasa. Yaitu, orang-orang yang berhasil puasanya adalah
mereka yang mampu mengamalkan ayat ini: وَلاَ
تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ [wa lā ta’kulū amwālakum baynakum
bil-bāthil, dan janganlah (saling) memakan harta di antara kalian dengan
(cara yang) batil]. Apabila ada orang yang setiap tahun berpuasa tetapi
masih saja doyan memakan harta sesamanya dengan cara yang batil, maka pada
dirinya belum ada tanda ketakwaan. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian. Dan
janganlah kalian membunuh dirimu; (karena) sesungguhnya Allah Maha Penyayang
kepadamu.” (4:29)[1]
2.
Yang menarik
ialah, kenapa Allah menggunakan kata dasar “makan”? Padahal objeknya
jelas disebutkan أَمْوَال (amwāl, harta benda). Kenapa misalnya
tidak menggunakan kata dasar “ambil”? Bukankah harta benda itu “diambil”
dan bukannya “dimakan”? Sehingga kalimatnya seharusnya berbunyi: وَلاَ تَأْخُذُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ [wa lā ta’khudzū amwālakum
baynakum bil-bāthil, dan janganlah (saling) mengambil harta di antara
kalian dengan (cara yang) batil]—perhatikan kata yang digarisbawahi. Ini
semakin mempertegas bahwasanya urusan harta benda sebetulnya adalah urusan
perut, urusan piring, urusan makan. Perbuatan “mengambil” hanyalah aksi
sementara dan perantara untuk selanjutnya dikirim ke perut. Perutlah yang
menjadi pusat gravitasi seluruh hasrat-hasrat duniawi dan material kita. Secara
geometris, perut aslinya sangat sempit, paling menampung dua tiga piring
makanan, tetapi saat bersinergi dengan hasrat (desire, hawa nafsu)
perut tiba-tiba memiliki kemampuan imajiner yang tak terbatas. Kita sebut ini
Teori Perut. Selain berhasrat mencoba semua jenis makanan dan di semua tempat
(restoran-restoran, kota-kota, negara-negara) yang dapat menyimbolkan status
sosialnya, perut juga ingin menyelamatkan seluruh anggota keluarganya sebanyak
tujuh turunan. Pada tingkat tertentu, perut sontak menjadi bendera dinasti. Di
titik ini, perut mencari sesamanya perut, yang dia dapat temukan di kalangan
‘intelektual’, kalangan ‘ulama’, kalangan ‘seniman’, ‘penulis’ sejarah,
‘panglima’ perang, ‘politisi’ kawakan, ‘periset’ dukungan, dan sebagainya.
Teori Perut inilah yang menjelaskan mengapa banyak raja absolut, presiden
borjuis, dan diktator proletar dapat bertahan di puncak kekuasaan selama
berpuluh-puluh tahun. Melelui perut, mereka dapat mengontrol semuanya:
membangun argumen, melahirkan fatwa, membangun galeri, membuat sejarah,
mengalahkan negara-negara, mengecoh lawan politik, memenangkan referendum, dan
seabrek ‘prestasi’ lainnya. “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
sebahagian besar alim-alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan
harta manusia dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia)
dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka
akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam
neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung
mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan
untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu
simpan itu’.” (9-34-35). [2]
3. Ketika perut menjadi paradigma sosial maka pranata hukum turut
menjadi carut-marut. Institusi-institusi yudisial berjumpalitan. Karena hukum
tak lagi berdasarkan keadilan sosial, tetapi berdasarkan kekuasaan finansial.
Pihak-pihak yang punya banyak stok ‘makanan’ dapat mensuplai kebutuhan perut
oknum-oknum tertentu guna menggandakan sertifikat lantas membawanya ke
pengadilan untuk mereka menangkan dan mengusir pemilik yang sesungguhnya yang
tak berdaya. Pemilik asli yang tak punya apa-apa lagi itu tergusur ke pinggir, dan
di tempatnya semula dengan serta-merta berdiri mercusuar-mercusuar simbol
kemajuan. Sepintas negara kelihatan semakin membaik dan mengalami proses
modernisasi, tetapi, secara sosiologi, yang terjadi sesungguhnya ialah:
marjinalisasi. Yaitu peminggiran kelompok mayoritas yang tak punya tabungan
‘makanan’, dan pemberian akses yang seluas-luasnya kepada sekelompok kecil
orang yang memiliki segala-galanya. Dalam hubungan inilah penggalan ayat
berikut ini memiliki daya dobrak yang luar biasa: وَتُدْلُواْ
بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ
بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
[wa
tud’lū biɦā ilāl-hukkāmi lita’kulū farīqan min amwālin-nāsi bil-itsmi wa antum
ta’lamūn, dan (jangan pula) membawa (urusan harta) itu kepada
hakim (untuk kalian menangkan) dengan (cara) dosa agar kalian dapat memakan
sebahagian harta orang lain, padahal kalian mengetahui]. Penggalan ayat
ini menutup seluruh rangkaian pembahasan Allah tentang ibadah puasa Ramadlan.
Kini, coba renungkan dalam-dalam, apa sesungguhnya yang dituju oleh ibadah
puasa itu? Apabila tidak bermuara kepada terlaksananya penggalan ayat ini—yaitu
terwujudnya sistem sosial yang egaliter—maka puasa hanyalah rutinitas belaka
yang—seperti kata Nabi saw—tidak mendatangkan apa-apa kecuali lapar dan
haus. “Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi
peringatanpun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata:
‘Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya’. Dan
mereka berkata: ‘Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak (daripada
kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diazab’.” (34:34-35).[3]
4. Ada dua kata yang tak selayaknya kita lewatkan begitu saja. Satu,
kata بِالْبَاطِلِ (bil-bāthil, dengan batil). Dua,
kata بِالإِثْمِ (bil-itsmi, dengan dosa). Keduanya
sama-sama didahului oleh harfu-jar (kata depan) بِ (bi,
dengan), dan juga sama-sama dalam bentuk ma’rifah
(menggunakan definit article “ال”, al) yang menunjukkan
keterdefenisiannya dengan jelas. Kata الْبَاطِلِ (al-bāthil, kebatilan)
adalah terma ontologi, sementara الإِثْمِ (al-itsmi, dosa)
adalah terma psikologi. Yang kedua (al-itsmi, dosa)
adalah konsekuensi logis dari yang pertama (al-bāthil, kebatilan).
Artinya, jiwa disebut berdosa bilamana melakukan perbuatan yang berstatus “batil”.
Sehingga, agar terhindar dari dosa, jiwa harus terlebih dahulu mengenal hal-hal
yang batil. Sayangnya, kebatilan hanya bisa dikenali oleh mereka yang sudah
memiliki furqān dalam jiwanya, sementara furqān hanya bisa
diraih oleh mereka yang sudah ber-takwa (8:29), dan tujuan puasa ialah
takwa. Di sinilah kelihatan keluarbiasaan susunan penggunaan kata
dalam ayat-ayat Alquran. Penempatan suatu kata di awal atau di akhir pun punya
rasionalitasnya sendiri.
C. Asbabunnuzul QS.Al-Baqarah ayat 188
Ibn Katsir menjelaskan
berdasarkan riwayat Ali ibn Abi Thalhah bahwa ayat ini terkait dengan peristiwa
dimana ada seorang laki-laki yang menginginkan sebuah harta kekayaan namun ia
tidak memiliki cukup bukti atas harta kekayaannya tersebut. Kemudian ia pergi
menemui seorang hakim untuk mendapatkannya dengan berbagai cara apapun agar ia
mendapatkannya. Padahal ia mengetahui bahwa hal itu tidak benar, berdosa, dan
sama halnya dengan orang memakan harta haram.[4]
Riwayat yang
sama juga disampaikan oleh Mujahid, Sa’id ibn Jubair, ‘Ikrimah, al-Hasan,
Qatadah, al-Sady, Muqatil ibn Hayyan, dan Abdurrahman ibn Zaid ibn Aslam.
- Korelasinya dengan Ayat Lain
Korelasi dengan
ayat lainnya dapat kita Lihat pada penjelasan ayat: An Nisa: 135; &
al-Maidah: 8, 47 & 48
An Nisa 135 :
* $pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. tûüÏBº§qs% ÅÝó¡É)ø9$$Î/ uä!#ypkà ¬! öqs9ur #n?tã öNä3Å¡àÿRr& Írr& ÈûøïyÏ9ºuqø9$# tûüÎ/tø%F{$#ur 4 bÎ) ïÆä3t $ÏYxî ÷rr& #ZÉ)sù ª!$$sù 4n<÷rr& $yJÍkÍ5 ( xsù (#qãèÎ7Fs? #uqolù;$# br& (#qä9Ï÷ès? 4 bÎ)ur (#ÿ¼âqù=s? ÷rr& (#qàÊÌ÷èè? ¨bÎ*sù ©!$# tb%x. $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? #ZÎ6yz ÇÊÌÎÈ
135. Wahai orang-orang yang beriman,
jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena
Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika
ia[361] Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan
jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Al maidah 8,
47 dan 48
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. úüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( wur öNà6¨ZtBÌôft ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã wr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 cÎ) ©!$# 7Î6yz $yJÎ/ cqè=yJ÷ès? ÇÑÈ
8. Hai orang-orang yang beriman hendaklah
kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi
saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
ö/ä3ósuø9ur ã@÷dr& È@ÅgUM}$# !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ÏmÏù 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd cqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÐÈ !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 ú÷üt/ Ïm÷yt z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# $·YÏJøygãBur Ïmøn=tã ( Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ( wur ôìÎ6®Ks? öNèduä!#uq÷dr& $£Jtã x8uä!%y` z`ÏB Èd,ysø9$# 4 9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷Å° %[`$yg÷YÏBur 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmÏù tbqàÿÎ=tFørB ÇÍÑÈ
47. dan hendaklah orang-orang pengikut
Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya[419].
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka
mereka itu adalah orang-orang yang fasik[420].
48. dan Kami
telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[421]
terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat
diantara kamu[422], Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,
E. Tafsir
dan penjelasan
Ayat ini berbicara tentang dosa besar penyebab ketidakadilan dan
ketidakamanahan dalam ekonomi masyarakat. Dan kaum Muslimin sangat dilarang
melakukan; satu, perlakuan yang tidak pantas terhadap harta milik orang lain.
Dua, menyuap hakim supaya dapat menguasai harta orang lain.
Al-Quran menyebutnya dengan istilah "batil" dan
"dosa". Perbuatan yang menurut akal tidak patut dan menurut syariat
dosa dan haram. Ada sebagian orang demi supaya perbuatan itu tidak dianggap
buruk, memberi nama "suap" dengan hadiah. Disebutkan dalam sejarah
ada seorang "Tawwabi" datang ke rumah Ali as membawa sesuatu
atas nama hadiah agar nanti di pengadilan hukum yang dijatuhkan bermanfaat bagi
dirinya. Imam Ali mengatakan: "Demi Allah, seandainya diberikan langit
kepadaku agar aku mengambil sebutir gandum dari mulut semut, sama sekali aku
tidak akan melakukannya."
Tafsir
Ibnu Katsir
Menurut Ibn Katsir, ayat di atas menunjukkan bahwa
seorang hakim tidak boleh merubah eksistensi suatu perkara/kasus tertentu dalam
memberikan sebuah putusan. Oleh karena itu, “seorang hakim tidak boleh
memutuskan sesuatu perkara yang halal menjadi haram ataupun sebaliknya”. Jika
terjadi yang demikian maka baik hakim maupun orang yang mempengaruhi hakim
dalam memberikan keputusan sehingga keputusannya tersebut menyimpang maka
keduanya akan menanggung akibat perbuatannya tersebut. Hal ini sebagaimana
ditegaskan dengan potongan ayat yang berbunyi:[5]
وأنتم تعلمون
= أى تعلمون بطلان ما تدعونه وتروجونه في كلامكم
Qatadah
menyatakan lebih jauh tentang muatan ayat ini dengan pernyataan:
وإنما يقضى
القاضى بنحو ما يرى وتشهد به الشهود والقاضى بشر يخطئ ويصيب
Tafsir An
Nur
a. Wa
la ta’kulu amwalakum bainakum bil bathili = dan janganlah kamu makan
harta-hartamu diantara kamu dengan cara yang batil.[6]
yakni
: janganlah sebagian kamu mengambil atau menguasai harta sebagian kamu dengan
jalan yang tiada dibenarkan syara’.
Tuhan berfirman : …hartamu”. Adalah
untuk memberi pengertian bahwa ummat itu satu, dan bahwa umat itu satu sama
lainnya bantu membantu; dan untuk member tanbih, bahwa menghormati dan
memelihara harta orang, berarti meghormati dan memlihara harta diri sendiri,
sebagaimana menganiaya harta orang, bearti berbuat hianat ( kejahatan )
terhadap umat seluruhnya karena orang lain itu, adalah salah satu dari anggota
umat.
Dengan
kita menghalalkan harta orang, berarti menghalalkan orang lain menghalalkan (
mengambil ) harta kita apabila ia sanggup mengambilnya.
Masuk
kedalam pengertian..batil” :[7]
1. Riba,
karena riba itu berarti makan harta manusia dengan tak ada imbangan.
2. Rasjwah
: uang sogok yang diberikan kepada hakim.
3. Sedekah
kepada orang yang sanggup megusahakan nafkah yang mencukupinya.
4. Sedekah
yang diterima orang yang sanggup berusaha. Karena itu tiadalah halal bagi
seseorang muslim menerima sedekah, sedang ia tidak berhajat kepadanya.
5. Harga
harga jimat dan jampi dan hataman – hataman Qur’an, pembacaan yasin untuk
menyelesaikan hajat, atau untuk merahmati orang mati.
6. Menganiaya
manusia dengan merampas sesuatu manfaat, mislanya : tidak member upah
oarangyang diupah, atau dikurangkan upahnya dari upah yang patut, atau upah
yang sudah ditentukan.
7. Harta
– harta yang didapati dengan jalan menipu.
8. Upah
ibadat, seperti upah puasa, upah sembahyang.
Ibadah – ibadah itu
wajib dilaksanakan dengan niat dan dengan karena allah, utuk mencari keridhoan
dan menuruti perintah-Nya. Maka apabila yangtersebut itu dicampurkan oleh
sesuatu kepentingan dunia, keluarlah ibadah amal itu, dari lingkungan ibadah.
Allah tidaj menerima suatu amal
melainkan yang kita lasanakan dengan kehendak mencari keridhoan-Nya.
Maka orang yang member upah, berarti merugikan diri dan yang mengambil upah
merugikan hari kemudian.
Para pengajar ilmu dan
agama dengan upah, sama kedudukannya dengan para tukan dan kuli upahan, tak ada
pahala terhadap amal usahanya. Hanya diberikan pahala terhadap kesungguhannya
dalam membaikkan perbuatan dan dalam berlaku ikhlas dalam perbuatannya.
Dan tiada dibolehkan
kita mengambil upah terhadap jawaban ( fatwa ) yang kita berikan kepada para
penanya yang menanya tentang suatu fatwa keagaaman yang ia hayati, lantaran
menjawab itu, suatu fardhu yang difardhukan atas ahlidzikri yang arifi, sedang
menyembunyikan diharamkan atas mereka.
Ringkasnya,
seharusnyabagi para manusia mencari usaha dari jalan yang diisyaratkan yang
tiada memelaratkan seseorang.
b. Wa
tud-lu biha ilal hukkami = dan jangan kamu membawakan hartamu sebagai rasjwah,
untuk menyogok mereka.
c. Li
ta’kulu fariqan mun amwalin nasi bil itsm wa antum ta’lamun = supaya kamu dapt
mengambil sebagian harta manusia dengan jalan dosa sedang kamu mengetahui.
Yakni : janganlah kamu pergunakan hakim
– hakim yang menerima rasjwah untuk mengambil sebagian dari harta orang lain
dengan perantaraan sumpah palsu atau saksi palsu atau yang seperti itu, yang
kamu pergunakan untuk membenarkan dakwamu padahal kamu mengetahui bahwa kamu
dalam kebathilan mengerjakan maksiat.
Mencari pertolongan kepada hakim untuk
maan harta orang dengan cara yang batil, haram, lantaran hukum hakim itu tidak
mengubah kebenaran dan tidak mengahalalkan harta bagi si mahkumlahu yang
dimenangkan dalam perkara.
Hukum qadli hanya berlaku pada dhahirnya
saja. Hukum hakim tidak menghalalkan yang haram
Apabila hakim menghukumkan sah sesuatu
akad nikah bagi seseorang dengan persaksian palsu, maka tiada halal bagi orang
yang mencampuri wanita yang diakaui istrinya berdasar kepada putusan hakim yang
dia tau putusan itu tidak benar. Demikian pula hukum hakim mengenai harta dan
akad – akad yang lain.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Dilarang
men-sabotase harta kekayaan milik orang lain dengan cara-cara yang bathil/tidak
dibenarkan. Dalam kaitan ini maka dapat dikategorikan bahwa Korupsi merupakan
salah satu contoh mendapatkan kekayaan dengan cara yang bathil.
2. Dilarang
untuk melakukan ‘suap’ atau cara lainnya (intimidasi, intervensi dll) yang
menjadikan putusan hakim menjadi tidak berkeadilan. Dalam kaitan ini maka orang
yang sedang berperkara dilarang untuk mempengaruhi seorang hakim dalam
pengambilan keputusannya.
3. Seorang
hakim dilarang untuk memberikan putusan yang menyimpang dari sesuatu yang
sebenarnya. Misalnya, menghalalkan sesuatu yang haram atau sebaliknya. Dengan
kata lain, membebaskan yang bersalah dan memenjarakan yang tidak bersalah. Oleh
karena itu, menurut Qatadah, ayat ini menegaskan kepada para hakim, meskipun
para hakim juga seorang manusia biasa (bisa salah dan bisa benar) namun dalam
memutuskan sebuah kasus para hakim harus mendasarkan diri pada apa yang ia
lihat sendiri dan kesaksian para saksi/alat bukti yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu
Katsier.1993.Terjemah Singkat Tafsir.Jakarta:Bina ilmu
Muhammad
Rusli Malik. 21 maret. Al-baqarah ayat 188.Diakses tanggal 4 Desember
2012
Muhammad Harun Ar-Riyawi. 21 maret. Larangan
Mempengaruhi Hakim.Diakses tanggal 4 Desember 2012
Rof
T.M Hasbi Ash-shiddieqy. 1965.Tafsir Alqur’an madjied ‘an nur’. Jakarta:Bulan
Bintang
[1]
Muhammad Rusli Malik. 21 maret. Al-baqarah ayat 188.Diakses tanggal 4
Desember 2012
[2]
Muhammad Rusli Malik. 21 maret. Al-baqarah ayat 188.Diakses tanggal 4
Desember 2012
[3]
Muhammad Rusli Malik. 21 maret. Al-baqarah ayat 188.Diakses tanggal 4
Desember 2012
[4]
Muhammad Harun Ar-Riyawi. 21 maret. Larangan Mempengaruhi Hakim.Diakses
tanggal 4 Desember 2012
[5] Ibnu Katsier.Terjemah
Singkat Tafsir.(Jakarta:Bina ilmu,1993)
[6]
Rof T.M Hasbi Ash-shiddieqy. Tafsir Alqur’an madjied ‘an nur’. (Jakarta:Bulan
Bintang,1965)
[7]
Rof T.M Hasbi Ash-shiddieqy. Tafsir Alqur’an madjied ‘an nur’. (Jakarta:Bulan
Bintang,1965)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar